Kampus Syariah

Universitas Indonesia Membuka Program Studi Baru Ekonomi Syariah

Perkembangan Sukuk di Indonesia

Sukuk, instrument keuangan syariah yang mulai berkembang di Indonesia. Sejauh mana perkembangannya?

Dasar-dasar Akuntansi Syariah

Yuk, belajar akuntansi syariah...

Mati dilindas Buldozer

Aktivis kemanusiaan Amerika mati dilindas buldozer oleh tentara Israel...

Kontribusikan Pemikiran Anda di Shariapedia

Tuliskan gagasan mu, majukan Ekonomi Islam!

Thursday 6 June 2013

Salahuddin al Ayyubi dan Maulid Nabi Muhammad SAW

Sultan Salahuddin merupakan seorang yang menghimbau ummat Islam se-dunia agar merayakan hari kelahiran (Maulid) Nabi Muhammad SAW sejak 12 Rabiul Awwal 580 H/1184 M. Ada kisah besar yang terjadi dibalik seruan Sultan Salahuddin tersebut.

Peristiwa Perang Salib

Monday 15 October 2012

Gotong Royong Berbagi Risiko

Beberapa minggu lalu saya dapat kesempatan bertemu dengan salah seorang praktisi perbankan syariah di Bank Indonesia. Beliau menyampaikan mengenai kontempelasinya atas hal-hal yang dirasa kurang mendasar dalam praktik perbankan syariah. Berikut ulasannya.

Kembali kepada sifat sunatullah manusia bahwasanya manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa hidup tanpa orang lain. Sebutlah ketika kita ingin membeli suatu buah di pasar, pastinya kita berinteraksi dengan orang lain. Lalu apa yang menjadi masalah? Permasalahan yang timbul adalah kurangnya rasa kebersamaan yang ada diantara umat. Interaksi sosial baik dalam hal jual-beli dan lain-lain hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan semata yang bersifat individu.

Manusia terdorong untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Kemudian menyimpannya. Akibatnya adalah kurangnya rasa sosial dengan menyalurkan harta (hal ini karena kecenderungan takut atas risiko kehilangan harta). Padalah sejatinya, dalam Al Qur'an pun menjelaskan bahwasanya dalam kehidupan ini ada aliran. Aliran darah yang masuk ke jantung, atau aliran darah yang keluar dari jantung misalnya menjadikan manusia tetap hidup normal. Tapi bayangkan ketika terjadi kekurangan darah sedikit saja, atau peredaran darah macet. Maka bisa jadi seketika itu juga manusia mati tak berdaya.

Begitu pula dengan ekonomi. Pada dasarnya aliran (uang dalam hal ini) merupakan bahan bakar utama perekonomian. Maka Islam pun memberikan aturan mengai keseimbangan aliran ini melalui fungsi zakat, infaq, dan shodaqoh. Keberlangsungan aliran dalam perekonomian menjadi perekonomian terus berputar sempurna. Namun sayangnya, orang-orang cenderung untuk menimbun hartanya karena mereka tidak berani mengambil risiko. Maka terbentuklah berbagai macam aturan mengenai risiko hingga pembuatan asuransi. Hal ini merupakan cerminan betapa kita takut atas risiko (buruk) dan berusaha mengalih takdir buruk tersebut kepada orang/lembaga lain.

Konsep mendasar yang tidak hanya terbatas pada perekonomian Islam saja melaikan juga menjadi konsep perbankan universal idealnya dibangun dari kondisi masyarakat yang tidak takut akan risiko. Selain itu, diantara masyarakat juga mau menanggung risiko saudaranya yang lain. Bayangkan jika saja di lingkungan kita tetangga kanan atau kiri kita yang kesulitan kita bantu, maka  tidak akan ada yang namanya kerugian, kemiskinan, hingga kejadian kriminalitas akibat tuntutan perut, dsb.

Pada tataran konsep perbankan, bank merupakan lembaga intermediasi yang bertugas mengalirkan dana dari orang yang memiliki dana lebih kepada orang yang kekurangan dana untuk hal-hal produktif ataupun yang sifatnya konsumtif. Hal yang saya suka dari penyamapaian Bapak tersebut adalah tataran konsep dijabarkan dalam implementasi sistem perbankan itu sendiri. Beliau mengatakan bahwa idealnya jumlah bank itu sedikit. Dalam hukum pareto 80% uang dikuasai oleh 20% bank dan sebaliknya 20% uang dikuasai oleh 80% bank. Akibatnya jika jumlah bank banyak adalah spread atau persebaran risiko semakin kecil. Namun kebalikannya jika jumlah bank ada lebih sedikit, maka bank tersebut akan mampu menyerap jumlah nasabah yang lebih banyak. Sebagai implilasi dari hal ini, misalnya ada petani di wilayah Cianjur yang mengalami kerugian akibat gagal panen, maka nasabah di seluruh wilayah dapat ikut serta menanggung kerugian yang dialami petani Cianjur tersebut. Semakin besar jumlah nasabah, maka semakin kecil besaran risiko yang ditanggung. Mungkin hal ini dapat menjadi isu awal perbaikan sistem perbankan di Indonesia yakni dengan memperkecil jumlah bank.

Dalam diskusi tersebut kita terkadang mengkotak-kotakkan akan perekonomian konvensional dengan perekonomian Islam. Pada dasarnya tidak ada yang lebih super diantara keduanya. Untuk kita sebagai seorang muslim, ekonomi Islam ini sebenarnya adalah dobrakan baru bentuk ekonomi yang ideal di masyarakat. Oleh sebab itu lebih baik dikatakan ekonomi universal. Permasalah mengenai ekonomi merupakan masalah bersama yang dihadapi umat manusia di seluruh dunia. Para ekonom sedang membuat formulasi baru mengenai sistem ekonomi yang terbaik. Apakah kita telah puas dengan sistem ekonomi yang ada sekarang? Apakah sistem ekonomi sekarang merupakan sistem ekonomi yang ideal, kuat, dan terhindar dari krisis yang menjadi momok umat manusia? Wallahu a'lam bis shawab.

Thursday 13 September 2012

September dan Terorisme

Tragedi hancurnya gedung pusat perdagangan dunia 11 September 2001, tampaknya meninggalkan tren tersendiri bagi bulan September. Pengulangan berita terkait dengan kerjadian tersebut disertai dengan berita-berita terkini yang diarahkan pada maraknya bentuk terorisme. Saat ini pemberitaan media mengenai terorisme bukan lagi sekedar berpusat di pusat kota. Terorisme menyebar ke pelosok-pelosok, hingga daerah terpencil. Pertanyaannya untuk apakah teroris menyebar teror di lokasi terpencil?

Banyak spekulasi yang beredar. Diantaranya adalah spekulasi mengenai teori konspirasi. Apakah betul aparat keamanan seperti polisi, intelegen nasional, dan internasional merupakan dalang dari semua kejadian dibalik terorisme nasional belakangan ini? Apapun kebenarannya, media menjadikan berita ini (terorisme) menjadi sebuah berita besar yang secara tidak langsung membuat blow up pesimisme Islam. "Bad news is a good news" apakah semboyan tersebut layak demi meraih keuntungan semata. Peran media sangatlah penting dalam rangka membentuk opini publik mengenai kejadian yang terjadi di sekitar masyarakat.

Idealisme Media
Berita media massa mengenai ekstremisme berlebihan tampaknya telah lebih redup dibandingkan dengan satu dekade lalu. Entah bosan, atau hal ini sudah tidak menarik lagi. Namun, belakangan, muncul kembali beberapa kasus mengenai teroris belia jaringan Solo. Entah apakah hal ini dapat dikaitkan dengan politik, baik politik nasional dan internasional.

Reduksi islamophobia seiring dengan minimnya pemberitaan "buruk" mengenai Islam. Belakangan pemberitaan ini mulai muncul kembali. Pemberitaan terkesan tidak berimbang mengenai baik dan buruk. Bahkan terkesan bahwa semuanya adalah buruk. Apakah  memang idealisme media telah memudar dari warna aslinya?

Banyak kasus selain "terorisme" yang diartikan selama ini yang sebenarnya merupakan terorisme sesungguhnya. Tidak ada yang mengingatkan mengenai kisah Rachel Corie, aktivis pemudi Amerika Serikat yang mati karena dilindas buldozer oleh tentara Zionis. Padahal hal ini sungguh-sungguh merupakan kekejaman yang nyata. Bagaimana dikisahkan Rachel Corie merasa berdebar-debar setiap detik berada bersama warga Palestina karena teror Zionis yang tidak kenal waktu dan membabi buta. Jutaan rakyat Palestina mati selama beberapa dekade sejak kedatangan Zionis ke tanah Palestina. Apakah hal ini bukan termasuk terorisme?

Publisitas kubah As Sahkhra yang selama ini diungkap sebagai kubah Al Aqsa. Bahkan media internasional seperti BBC, CNN pun tidak jujur dalam peliputan berita. Lalu kemana media nasional yang notebene merupakan negara muslim terbesar? Kita mesti pandai memilah-milih berita dan informasi yang masuk ke telingan kita, informasi yang kita baca, dan kita dengar. Perlu adanya klarifikasi lebih lanjut meskipun berita datang dari sumber yang ternama. "Sejarah (berita) tergantung siapa yang berkuasa." (fhw)

Saturday 1 September 2012

Investor Timur Tengah Minati Perbankan Syariah Indonesia


Tiga investor asal Timur Tengah telah mengajukan rencana menanamkan modal di industri perbankan syariah dalam negeri ke Bank Indonesia (BI).


Hanya saja, bentuk investasi belum ditetapkan, apakah sekadar membuka kantor perwakilan, mendirikan bank syariah, atau mengakuisisi lalu mengonversi bank konvensional yang telah ada.

"Yang datang investornya langsung, dari Timur Tengah, ada dua atau tiga. Negaranya ada dari Kuwait, Turki, yang satu lagi saya lupa, tetapi Timur Tengah juga," ujar Direktur Eksekutif Departemen Perbankan Syariah BI Edy Setiadi di Jakarta, Jumat (31/8/2012).

Edy mengatakan, sejumlah investor tertarik pada industri syariah dalam negeri lantaran pertumbuhan yang signifikan, terutama di segmen ritel. Per Juni 2012 saja aset industri perbankan syariah telah tumbuh 41,6% menjadi Rp155,41 triliun dari Rp109,75 triliun pada Juni 2011.

Walaupun secara historis industri syariah selalu tumbuh pesat, Edy mengatakan, tahun ini diprediksi akan ada perlambatan. "Mungkin tidak akan setinggi sebelumnya pertumbuhannya. Saya kira kalaupun maksimal sama lah dengan tahun lalu. Kalau kita lihat nett ekspansinya, setidaknya sama dengan tahun lalu," jelas Edy, dalam laman Media Indonesia.

Penyebab utama penurunan pertumbuhan industri adalah turunnya dana pihak ketiga kelolaan bank syariah akibat pengalihan dana haji ke sukuk. Jika dibandingkan dengan dana kelolaan pada akhir tahun lalu pertumbuhan DPK hanya mencapai 3,62% menjadi Rp119,27 triliun per pertengahan tahun ini.

Dana yang hilang dari tabungan haji berkisar Rp5-6 triliun. Total dana haji sendiri Rp7 triliun.*

Rep: Insan Kamil
Red: Syaiful Irwan
(hidayatullah.com)

Butuh Modal Kuat agar Lebih Efisien


Bank Syariah di Indonesia dihadapkan oleh dilema, sebagai akibat dari belum adanya efisiensi dalam informasi pasar perbankan syariah, perbankan syariah dihadapkan dalam inefisiensi biaya-biaya perbankan. Framework mengenai perbankan syariah di masyarakat masih merupakan bank yang halal dan murah.

 Meski labanya tumbuh secara signifikan, efisiensi bank umum syariah masih rendah. Perlu dukungan bank induk untuk memperbesar modal sehingga kinerja bank syariah makin membaik. Darto Wiryosukarto

Bank Indonesia (BI) mengimbau perbankan nasional menurunkan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO). Imbauan tersebut didasari oleh kondisi perbankan nasional yang kurang efisien dalam mengelola dana. BI membandingkan kondisi perbankan nasional dengan perbankan di kawasan lain di ASEAN. BO/PO perbankan di kawasan lain di ASEAN berkisar 40% hingga 60%, sementara di Indonesia mencapai 85,42% per akhir 2011.
Kondisi tersebut tampaknya mencemaskan BI selaku regulator mengingat krisis Eropa dan Amerika Serikat masih menghantui kondisi di dalam negeri dan diprediksi akan terasa getarannya pada semester akhir tahun ini.
Belajar dari krisis-krisis sebelumnya, efisiensi menjadi salah satu kunci sukses industri perbankan dalam meningkatkan daya tahan, tak terkecuali perbankan syariah. Apalagi, BO/PO bank umum syariah tak beda jauh dengan bank konvensional, yakni 84,15%.
Jika berpegang pada angka yang dikehendaki BI, yakni di kisaran 80%, atau idealnya di antara 60% dan 70%, mayoritas bank umum syariah (BUS) di Indonesia masih jauh dari harapan.
Berdasarkan data Biro Riset Infobank (birI), dari 11 BUS di Indonesia, hanya tiga bank yang BO/PO-nya di bawah 80%, yakni Bank MayBank Syariah Indonesia (55,18%), PaninBank Syariah (74,30%), dan Bank Syariah Mandiri (76,44%).
Selebihnya, atau delapan bank syariah, memiliki BO/PO di atas 80%. Bahkan, ada empat bank dengan BO/PO di atas 90%, yakni BRI Syariah (99,56%), Bank Syariah Bukopin (93,86%), BCA Syariah (91,72%), dan Bank Mega Syariah (90,80%).
Namun, BO/PO rendah ternyata tak serta-merta membuat bank syariah mampu menangguk untung berlimpah. Bahkan, Bank MayBank Syariah Indonesia, yang memiliki BO/PO terendah di antara 11 bank syariah, justru mengalami penurunan laba. Pada 2010 bank asal negeri jiran itu meraih laba tahun berjalan Rp44,81 miliar, tapi akhir 2011 hanya mampu mengumpulkan laba Rp40,26 miliar atau anjlok 10,14%.
Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang letoy menjadi salah satu penyebab turunnya laba MayBank Syariah. Tak heran, meski BO/PO-nya rendah dan return on asset (ROA) tinggi, hal itu tak mampu mendongkrak raihan laba karena ekspansi aset akhirnya bertumpu pada dana mahal yang menyebabkan tingginya biaya dana dan pada gilirannya menggerus laba.
Per akhir 2011 pertumbuhan DPK MayBank Syariah hanya 1,55%. Tabungan yang diharapkan bisa menjadi sumber dana murah justru turun 30,98% dari Rp22,31 miliar menjadi Rp15,39 miliar.
Berbeda kondisinya dengan PaninBank Syariah dan Bank Syariah Mandiri (BSM). Meski BO/PO kedua bank ini lebih besar daripada MayBank Syariah, yakni masing-masing 74,30% dan 76,44%, keduanya berhasil meraih laba signifikan. Bahkan, laba PaninBank Syariah melonjak 228,72% pada akhir 2011. Suntikan modal yang mampu mendongkrak penyaluran pembiayaan hingga naik 216,58% menjadi salah satu penopang kenaikan laba bersih PaninBank Syariah dari –Rp7,17 miliar menjadi Rp9,23 miliar.
BSM setali tiga uang. Meski persentase pertumbuhan DPK dan pembiayaan lebih kecil dibandingkan dengan PaninBank Syariah, secara nominal perolehan labanya jauh melambung, bahkan menjadi bank syariah dengan raihan laba terbesar, yakni Rp551,07 miliar. Besarnya biaya operasional yang mencapai Rp3,76 triliun bisa diimbangi dengan pendapatan operasional yang mencapai Rp5,05 triliun sehingga tidak menggerogoti laba.
Meski sama-sama disokong bank BUMN sebagai induk usaha, BRI Syariah tak seefisien BSM. Bahkan, bank yang baru beroperasi sekitar dua tahun ini menjadi bank syariah dengan BO/PO terbesar, yakni 99,56%. Pergantian jajaran direksi dan perubahan haluan bisnis diprediksi menjadi faktor penyebab tidak efisiennya kinerja BRI Syariah sepanjang 2011.
Namun, BRI Syariah ke depan berpotensi melesat tinggi dengan melihat pertumbuhan di semua sektor, baik DPK, pembiayaan, maupun aset. Yang dibutuhkan BRI Syariah saat ini adalah tambahan modal sehingga bisa berkinerja cemerlang seperti bank induknya.
Tambahan modal dari bank induk memang menjadi salah satu advis Direktorat Perbankan Syariah BI untuk mendongkrak pertumbuhan bank syariah. Dengan sokongan modal yang signifikan, ekspansi bank syariah bisa lebih kencang dan jauh lebih efisien.
“Jangan setengah-setengah dalam membesarkan bank syariah. Toh, pada akhirnya nanti akan membesarkan holding-nya juga,” ujar Edy Setiadi kepada Infobank, medio Juni lalu.
Suntikan modal untuk mendukung ekspansi bisnis dan efisiensi juga diperlukan Bank Mega Syariah dan Bank Syariah Bukopin sehingga tidak harus menyedot cadangan modal yang makin menipis. Bank Mega Syariah yang pertumbuhan labanya -14,30% hanya memiliki cadangan modal (CAR) 12,03% atau terkecil di antara bank umum syariah lain, sementara Bank Syariah Bukopin yang CAR-nya 15,29% mencatatkan pertumbuhan laba 19,30%.
Di lain pihak, bank-bank syariah dengan BO/PO di kisaran 80%-an masih bisa menikmati gurihnya pertumbuhan laba di atas 100%. Bahkan, Bank Victoria Syariah dengan BO/PO 86,40% mampu membukukan pertumbuhan laba tahun berjalan sebesar 789,88%, diikuti BJB Syariah (BO/PO 84,07%) sebesar 234,84% dan BNI Syariah (BO/PO 87,86%) sebesar 142,98%. (infobanknews)