Saturday 1 September 2012

Butuh Modal Kuat agar Lebih Efisien


Bank Syariah di Indonesia dihadapkan oleh dilema, sebagai akibat dari belum adanya efisiensi dalam informasi pasar perbankan syariah, perbankan syariah dihadapkan dalam inefisiensi biaya-biaya perbankan. Framework mengenai perbankan syariah di masyarakat masih merupakan bank yang halal dan murah.

 Meski labanya tumbuh secara signifikan, efisiensi bank umum syariah masih rendah. Perlu dukungan bank induk untuk memperbesar modal sehingga kinerja bank syariah makin membaik. Darto Wiryosukarto

Bank Indonesia (BI) mengimbau perbankan nasional menurunkan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO). Imbauan tersebut didasari oleh kondisi perbankan nasional yang kurang efisien dalam mengelola dana. BI membandingkan kondisi perbankan nasional dengan perbankan di kawasan lain di ASEAN. BO/PO perbankan di kawasan lain di ASEAN berkisar 40% hingga 60%, sementara di Indonesia mencapai 85,42% per akhir 2011.
Kondisi tersebut tampaknya mencemaskan BI selaku regulator mengingat krisis Eropa dan Amerika Serikat masih menghantui kondisi di dalam negeri dan diprediksi akan terasa getarannya pada semester akhir tahun ini.
Belajar dari krisis-krisis sebelumnya, efisiensi menjadi salah satu kunci sukses industri perbankan dalam meningkatkan daya tahan, tak terkecuali perbankan syariah. Apalagi, BO/PO bank umum syariah tak beda jauh dengan bank konvensional, yakni 84,15%.
Jika berpegang pada angka yang dikehendaki BI, yakni di kisaran 80%, atau idealnya di antara 60% dan 70%, mayoritas bank umum syariah (BUS) di Indonesia masih jauh dari harapan.
Berdasarkan data Biro Riset Infobank (birI), dari 11 BUS di Indonesia, hanya tiga bank yang BO/PO-nya di bawah 80%, yakni Bank MayBank Syariah Indonesia (55,18%), PaninBank Syariah (74,30%), dan Bank Syariah Mandiri (76,44%).
Selebihnya, atau delapan bank syariah, memiliki BO/PO di atas 80%. Bahkan, ada empat bank dengan BO/PO di atas 90%, yakni BRI Syariah (99,56%), Bank Syariah Bukopin (93,86%), BCA Syariah (91,72%), dan Bank Mega Syariah (90,80%).
Namun, BO/PO rendah ternyata tak serta-merta membuat bank syariah mampu menangguk untung berlimpah. Bahkan, Bank MayBank Syariah Indonesia, yang memiliki BO/PO terendah di antara 11 bank syariah, justru mengalami penurunan laba. Pada 2010 bank asal negeri jiran itu meraih laba tahun berjalan Rp44,81 miliar, tapi akhir 2011 hanya mampu mengumpulkan laba Rp40,26 miliar atau anjlok 10,14%.
Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang letoy menjadi salah satu penyebab turunnya laba MayBank Syariah. Tak heran, meski BO/PO-nya rendah dan return on asset (ROA) tinggi, hal itu tak mampu mendongkrak raihan laba karena ekspansi aset akhirnya bertumpu pada dana mahal yang menyebabkan tingginya biaya dana dan pada gilirannya menggerus laba.
Per akhir 2011 pertumbuhan DPK MayBank Syariah hanya 1,55%. Tabungan yang diharapkan bisa menjadi sumber dana murah justru turun 30,98% dari Rp22,31 miliar menjadi Rp15,39 miliar.
Berbeda kondisinya dengan PaninBank Syariah dan Bank Syariah Mandiri (BSM). Meski BO/PO kedua bank ini lebih besar daripada MayBank Syariah, yakni masing-masing 74,30% dan 76,44%, keduanya berhasil meraih laba signifikan. Bahkan, laba PaninBank Syariah melonjak 228,72% pada akhir 2011. Suntikan modal yang mampu mendongkrak penyaluran pembiayaan hingga naik 216,58% menjadi salah satu penopang kenaikan laba bersih PaninBank Syariah dari –Rp7,17 miliar menjadi Rp9,23 miliar.
BSM setali tiga uang. Meski persentase pertumbuhan DPK dan pembiayaan lebih kecil dibandingkan dengan PaninBank Syariah, secara nominal perolehan labanya jauh melambung, bahkan menjadi bank syariah dengan raihan laba terbesar, yakni Rp551,07 miliar. Besarnya biaya operasional yang mencapai Rp3,76 triliun bisa diimbangi dengan pendapatan operasional yang mencapai Rp5,05 triliun sehingga tidak menggerogoti laba.
Meski sama-sama disokong bank BUMN sebagai induk usaha, BRI Syariah tak seefisien BSM. Bahkan, bank yang baru beroperasi sekitar dua tahun ini menjadi bank syariah dengan BO/PO terbesar, yakni 99,56%. Pergantian jajaran direksi dan perubahan haluan bisnis diprediksi menjadi faktor penyebab tidak efisiennya kinerja BRI Syariah sepanjang 2011.
Namun, BRI Syariah ke depan berpotensi melesat tinggi dengan melihat pertumbuhan di semua sektor, baik DPK, pembiayaan, maupun aset. Yang dibutuhkan BRI Syariah saat ini adalah tambahan modal sehingga bisa berkinerja cemerlang seperti bank induknya.
Tambahan modal dari bank induk memang menjadi salah satu advis Direktorat Perbankan Syariah BI untuk mendongkrak pertumbuhan bank syariah. Dengan sokongan modal yang signifikan, ekspansi bank syariah bisa lebih kencang dan jauh lebih efisien.
“Jangan setengah-setengah dalam membesarkan bank syariah. Toh, pada akhirnya nanti akan membesarkan holding-nya juga,” ujar Edy Setiadi kepada Infobank, medio Juni lalu.
Suntikan modal untuk mendukung ekspansi bisnis dan efisiensi juga diperlukan Bank Mega Syariah dan Bank Syariah Bukopin sehingga tidak harus menyedot cadangan modal yang makin menipis. Bank Mega Syariah yang pertumbuhan labanya -14,30% hanya memiliki cadangan modal (CAR) 12,03% atau terkecil di antara bank umum syariah lain, sementara Bank Syariah Bukopin yang CAR-nya 15,29% mencatatkan pertumbuhan laba 19,30%.
Di lain pihak, bank-bank syariah dengan BO/PO di kisaran 80%-an masih bisa menikmati gurihnya pertumbuhan laba di atas 100%. Bahkan, Bank Victoria Syariah dengan BO/PO 86,40% mampu membukukan pertumbuhan laba tahun berjalan sebesar 789,88%, diikuti BJB Syariah (BO/PO 84,07%) sebesar 234,84% dan BNI Syariah (BO/PO 87,86%) sebesar 142,98%. (infobanknews)

0 comments :

Post a Comment